Home / Politik & Pemerintahan / Uji Materi Persyaratan SMA untuk Capres hingga Caleg: Apakah Sudah Tak Relevan?

Uji Materi Persyaratan SMA untuk Capres hingga Caleg: Apakah Sudah Tak Relevan?

Hanter Oriko Siregar, advokat dan konsultan hukum, menggugat syarat pendidikan minimal SMA sederajat yang diatur dalam UU Pemilu dan Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, standar tersebut telah usang dan tidak mencerminkan kebutuhan masa kini untuk kepemimpinan berkualitas. Sidang pendahuluan perkara Nomor 154/PUU-XXIII/2025 berlangsung Rabu kemarin, dipimpin oleh Hakim Arief Hidayat.

Syarat Pendidikan yang Dipersoalkan

Beberapa pasal yang diuji meliputi Pasal 169 huruf r UU Pemilu – Pendidikan minimal calon presiden/wakil presiden SMA atau sederajat, Pasal 182 huruf e UU Pemilu – Sama untuk calon anggota DPD, Pasal 240 ayat (1) huruf e UU Pemilu – Calon DPR/DPRD, Pasal 7 ayat (2) huruf c UU Pilkada – Calon kepala daerah.

Hanter menilai bahwa mengharuskan tingkat pendidikan hanya sampai SMA tidak adil, terlebih jika pembuat kebijakan dan guru SD saja dituntut minimal lulusan S-1. Ia menuntut agar syarat tersebut diubah menjadi minimal sarjana (S-1).

Landasan Hukum dan Hak Konstitusional

Permohon meyakini bahwa syarat pendidikan minimal tersebut melanggar beberapa pasal konstitusi, termasuk:

Pasal 22E ayat (1) – Hak memilih dan dipilih.

Pasal 28G ayat (1) – Hak atas perlindungan diri.

Pasal 28I ayat (4) – Perlindungan hak asasi oleh negara.

Hanter menekankan bahwa pemimpin nasional seharusnya memiliki kapasitas intelektual tinggi, bertanggung jawab, dan rasional—sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Respons Hakim: Perlu Legislasi, Strategi Argumentasi Lebih Kuat

Hakim MK memberikan beberapa catatan penting:

Enny Nurbaningsih menyarankan agar isu pendidikan ini dibawa ke ranah legislatif dan dibangun argumentasi lebih substansial dibandingkan putusan sebelumnya (Putusan MK No. 87/PUU-XXIII/2025).

Anwar Usman menyoroti perlunya membedakan tingkatan jabatan agar pemohon bisa menunjukkan dampaknya secara spesifik.

Arief Hidayat menekankan agar pemohon membuktikan bahwa pengujian ini bukan pengulangan perkara (ne bis in idem) serta menegaskan adanya tanggung jawab pembuat undang-undang.

MK memberi waktu 14 hari bagi pemohon untuk menyempurnakan argumentasi; batas akhir perbaikan adalah Selasa, 16 September 2025, sebelum sidang lanjutan digelar.

Sorotan Tambahan dari Publik dan Akademisi

PKS (Zainudin Paru) menyambut langkah hati-hati MK dan menyatakan bahwa syarat pendidikan merupakan kebijakan terbuka (open legal policy), kewenangan DPR dan Pemerintah. Ia juga menyoroti fakta bahwa hanya 10% penduduk Indonesia yang sudah sarjana, sehingga syarat S-1 bisa mengecilkan peluang kandidat yang layak.

MK sebelumnya menolak permohonan serupa, dengan alasan bahwa pendidikan bukan indikator tunggal kualitas kepemimpinan. MK menegaskan bahwa konstitusi menyerahkan penentuan persyaratan kepada UU, dan syarat SMA tetap terbuka inklusif bagi semua warga.

Berdasarkan data internasional, syarat pendidikan tinggi memang umum berlaku di beberapa negara seperti Turki, Mesir, dan Kenya. Namun di Indonesia, UUD hanya mengatur bahwa persyaratan ditetapkan melalui undang-undang.

Tag: