Kepolisian Resor (Polres) Malang berhasil mengungkap kasus tragis pembuangan seorang bayi laki-laki yang ditemukan warga di aliran Sungai Paron, Tegalgondo, Karangploso. Dalam penyelidikan, terungkap bahwa pelaku adalah dua mahasiswa, yaitu AM (21), mahasiswi asal Muara Teweh, Barito Utara, Kalimantan Tengah, dan pasangannya HNM (20), mahasiswa asal Malang.
Awalnya Seorang warga, Suwandi (74), menemukan jasad bayi ketika membersihkan sungai pada malam hari. Laporan dilanjutkan ke aparat desa dan kemudian ke Polsek Karangploso.
Kehamilan AM diketahui sudah beberapa bulan. Karena takut aib dan khawatir kehamilan diketahui oleh keluarga atau teman, pasangan ini memutuskan melakukan aborsi secara mandiri.
AM membeli obat aborsi secara daring sekitar 20 Agustus 2025. Setelah keguguran di kamar kos, ia memotong tali plasenta dengan gunting, memasukkan jenazah bayi ke dalam tas ransel bermotif bunga. Malam harinya, HNM membawa tas tersebut dengan sepeda motor, dan akhirnya membuangnya ke Sungai Paron akibat kebingungan dan takut ketahuan.
Polisi menyita sejumlah barang bukti, antara lain: Gunting, Perlak hitam, Tas ransel, Sepeda motor, Helm, Dua ponsel milik pelaku. Dari hasil otopsi atau pemeriksaan jenazah di RSUD Saiful Anwar, diketahui bahwa bayi adalah laki-laki dan hubungannya dengan aborsi, bukan kelahiran hidup.
Keduanya dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal pembunuhan, dengan ancaman pidana 9 hingga 15 tahun penjara. Polisi menyatakan akan melakukan proses hukum secara menyeluruh, agar pertanggungjawaban dapat ditegakkan.
Analisis & Implikasi
Kasus ini membuka beberapa persoalan sosial dan hukum yang lebih dalam:
1. Stigma Kehamilan di Luar Nikah
Rasa malu dan takut akan pengungkapan kehamilan di luar pernikahan menjadi faktor pendorong keputusan ekstrem. Ini mencerminkan kurangnya pendidikan seks dan akses bagi calon pengantin atau remaja terhadap layanan konseling kehamilan.
2. Akses Perlindungan Kesehatan & Reproduksi
Pelaku memilih melakukan aborsi mandiri tanpa pengawasan medis karena ketidaktahuan, kurangnya akses, atau karena faktor biaya dan takut terdeteksi. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk meningkatkan layanan kesehatan reproduksi, termasuk aborsi yang legal apabila hukum memungkinkan, atau dukungan psikososial.
3. Peran Penegakan Hukum
Penanganan kasus ini oleh polisi menunjukkan bahwa aparat bisa bertindak cepat setelah laporan masyarakat. Namun perlu dipertimbangkan aspek perlindungan korban terutama perempuan, serta pengembangan hukum yang adil dalam kasus semacam ini.
4. Pendidikan Seks & Etika Publik
Kasus seperti ini bisa menjadi titik tolak bagi instansi pendidikan, masyarakat, dan keluarga untuk mendorong pendidikan seks yang realistis dan berbasis nilai, agar generasi muda memiliki pemahaman dan kesadaran akan konsekuensi tindakan mereka.
Kasus pembuangan bayi oleh mahasiswi asal Muara Teweh dan pasangannya ini bukan hanya tragedi individu, tetapi juga mencerminkan masalah struktural: stigma sosial, kurangnya akses ke layanan reproduksi, serta kebutuhan edukasi dan dukungan psikologis. Penegakan hukum telah dilakukan dengan penetapan tersangka dan penyitaan barang bukti, namun langkah preventif di masyarakat perlu diperkuat agar kasus serupa dapat diminimalisir baik melalui pendidikan, akses kesehatan, dan perubahan sikap sosial.