Home / Rilis Resmi (Press Release) / Gugatan Kolom Agama di KTP: Risiko Diskriminasi Hingga Ancaman Nyawa

Gugatan Kolom Agama di KTP: Risiko Diskriminasi Hingga Ancaman Nyawa

Dalam perkara Nomor 155/PUU-XXIII/2025, seorang warga negara, Taufik Umar, melalui kuasa hukumnya Teguh Sugiharto, mengajukan uji materi Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk), ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini mencakup keberatan terhadap keberadaan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).

Menurut Teguh, kolom agama yang tercetak dalam dokumen publik seperti KTP dapat menimbulkan risiko serius, mulai dari diskriminasi hingga ancaman terhadap hak hidup. Ia menegaskan “Dokumen publik yang bisa diakses umum rawan memicu ancaman terhadap hak hidup, dan minimal diskriminasi.”

Trauma dari Konflik Poso

Gugatan ini dilatarbelakangi pengalaman pribadi Taufik saat konflik di Poso, di mana sweeping berdasarkan data agama di KTP mengakibatkan banyak orang terluka dan bahkan tewas. Ia menyampaikan bahwa tak ada ruang bagi “white lie” karena data agama di KTP dianggap kebenaran mutlak dalam membedakan ‘kawan’ dan ‘lawan’.

Poin yang Diuji: Pasal 61 dan 64 UU Adminduk

Pasal 61 ayat (1) UU 23/2006 mencantumkan kolom agama sebagai salah satu parameter wajib dalam KK.

Pasal 64 ayat (1) menyebutkan bahwa data agama harus ditampilkan pada KTP-el.

Mahkamah telah secara bersyarat menyatakan bahwa pencantuman kata “agama” dalam pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, dan hanya sah jika disertai dengan tambahan opsi “kepercayaan”.

Argumentasi Konstitusional

Penggugat mengklaim dua pasal tersebut telah melanggar:

Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, karena negara tidak cukup melindungi hak hidup, bahkan berkontribusi terhadap ancaman terhadap warga.

Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, karena negara bertanggung jawab untuk melindungi HAM warganya secara penuh.

Dalam petitum, penggugat memohon agar MK menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tak berlaku selama kata “agama dan kepercayaan” belum dihapus.

Perkara ini disidangkan oleh Majelis Panel yang diketuai oleh Ketua MK Suhartoyo, bersama hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah. Mahkamah memberi masukan bahwa penggugat perlu menyusun argumentasi secara lebih fokus dan menyeluruh sesuai PMK No. 7 Tahun 2025 (tata beracara uji undang-undang). Panel juga mempertanyakan alasan konsistensi pasal yang diuji hanya pada KTP, bukan KK.

MK sebelumnya menolak gugatan serupa yang diajukan oleh kuasa hukum yang sama, dengan alasan bahwa kewajiban menyatakan agama atau kepercayaan adalah bagian dari nilai dasar Pancasila dan diamanatkan dalam konstitusi.

Gugatan ini menjadi perhatian nasional karena menyinggung hak fundamental warga terhadap kebebasan beragama, keamanan, dan dokumen identitas. Keputusan MK kelak akan menjadi preseden penting bagi kebijakan administrasi kependudukan di masa depan.

Tag: